BAIT.ID – Ruang berekspresi masyarakat sipil di Indonesia dinilai terus mengalami kemerosotan. Kebebasan berpendapat, yang seharusnya menjadi napas demokrasi, kini kian dibatasi oleh regulasi yang bersifat represif.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina, menilai gejala ini sebagai bentuk civil phobia — ketakutan pemerintah terhadap warganya sendiri. Fenomena ini, menurutnya, terjadi di tingkat pusat maupun daerah. “Trennya jelas, pemerintah semakin alergi terhadap suara kritis. Media dibatasi, bahkan diarahkan untuk tunduk, sementara kritik dari publik kerap berujung intimidasi,” tegas Jane.
Ia menambahkan, penyusutan ruang kebebasan ini bukan sekadar persoalan lokal, melainkan cerminan situasi nasional yang menguat sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bedanya, jika pada masa lalu pembungkaman dilakukan melalui kekerasan fisik, kini strategi itu bergeser menjadi kriminalisasi lewat instrumen hukum, seperti UU ITE, hingga potensi ancaman dari RUU Perlindungan Data Pribadi.
“Dulu orang bisa dibungkam dengan penculikan atau kekerasan. Sekarang diganti dengan jerat hukum yang tak kalah menakutkan,” ujarnya.
KontraS juga menyoroti revisi KUHAP yang dinilai berpotensi semakin menutup pintu bagi kritik publik. Jane menyebut pola ini mengingatkan pada era Orde Baru, di mana negara hanya mengakui narasi resmi dan menutup ruang bagi perspektif masyarakat. “Dulu kita dipaksa menerima satu kebenaran versi pemerintah. Sekarang pola itu kembali, hanya berganti kemasan,” kata Jane.
Sejak berdiri pada 20 Maret 1998, KontraS yang awalnya dibentuk sebagai gugus tugas masyarakat sipil menggantikan KIP-HAM, terus mengadvokasi kasus pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan. Hingga kini, mereka konsisten mendorong agar ruang kebebasan tidak terus dikebiri.
“Rakyat perlu menolak setiap kebijakan yang menggerus kebebasan sipil dan mengkhianati nilai demokrasi,” pungkas Jane. (csv)