BAIT.ID – Beras yang dikonsumsi warga Kaltim ternyata masih banyak yang tidak sesuai dengan standar baku mutu nasional. Dari pengawasan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (DPPKUKM) Kaltim hanya satu dari sepuluh merek yang memenuhi standar mutu sesuai ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020.
Temuan tersebut disampaikan dalam konferensi pers yang digelar Kamis 7 Agustus 2025 siang di Kantor DPPKUKM Kaltim. Pengawasan berjalan pada 23–24 Juli lalu di dua kota besar, Samarinda dan Balikpapan. Hasilnya cukup mengejutkan, mayoritas beras premium yang beredar dinyatakan tidak memenuhi standar dari segi mutu fisik dan parameter teknis lainnya.
“Kami melakukan uji laboratorium terhadap sepuluh sampel merek beras kemasan 5 kilogram. Hasilnya, hanya satu merek yang lolos semua parameter,” jelas Kepala DPPKUKM Kaltim, Heni Purwaningsih.
Merek yang dinyatakan lolos itu adalah Rumah Tulip. Sementara sembilan merek lain mengalami pelanggaran mutu dalam berbagai bentuk. Mulai dari kadar butir kepala yang rendah, tingginya jumlah butir patah dan menir, hingga keberadaan butir kuning atau rusak.
Contohnya, merek Tiga Mangga Manalagi teridentifikasi mengandung butir kuning. Rahma Kuning tidak lolos dua parameter, sedangkan Belekok bahkan gagal dalam tiga aspek sekaligus. Merek Sania, Rojo Lele, dan Ketupat Manalagi tercatat melanggar empat parameter mutu beras premium. Adapun merek Kura-Kura, Siip, dan Mawar Melati masing-masing punya catatan pelanggaran pada kadar menir dan kualitas butir patah.
Tak hanya dari sisi kualitas, pelanggaran juga ditemukan dalam aspek harga. Banyak produk yang dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp15.400 per kilogram. Di lapangan, harga masih melambung hingga Rp18.000 per kilogram.
“Kami belum akan melakukan penarikan produk, tapi kami akan mengirimkan surat peringatan kepada para pelaku usaha. Penyesuaian mutu dan harga harus segera dilakukan,” tegas Heni.
Ia menekankan pentingnya peran distributor dan pelaku usaha dalam menjaga kualitas produk, terlebih karena sebagian besar beras yang beredar di Kaltim berasal dari luar daerah, seperti Surabaya dan Sulawesi. Di Kaltim, beras-beras ini hanya dikemas ulang tanpa proses quality control yang ketat. “Sebagian besar pelaku usaha hanya bertindak sebagai pengemas ulang. Maka pengawasan mutu harus menjadi perhatian serius,” imbuhnya.
Heni juga menyebutkan bahwa tingginya harga beras di Kaltim bukan hanya karena kualitas, tetapi juga disebabkan faktor logistik dan geografis. Biaya distribusi dari luar pulau menjadi salah satu penyebab utama harga jual yang tinggi di wilayah ini. “Infrastruktur logistik kita belum optimal. Hal ini berimbas langsung pada beban biaya yang ditanggung distributor,” katanya.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat soal isu beras plastik, Heni memastikan bahwa berdasarkan pengawasan saat ini tidak ditemukan indikasi adanya beras palsu. “Isu beras plastik tidak terbukti. Yang sempat kami temukan pada Maret lalu adalah masalah kekurangan timbangan, dan pelaku usaha sudah ditindak,” pungkasnya.
Temuan ini menjadi peringatan penting bahwa pengawasan mutu pangan, khususnya beras, masih menjadi pekerjaan rumah besar. DPPKUKM Kaltim menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pembenahan ekosistem perdagangan pangan, mulai dari aspek regulasi hingga penguatan peran pelaku usaha dan distribusi. (csv)