Bait.id – Pemerataan tenaga kesehatan di Kaltim masih jauh dari kata ideal. Tak hanya jumlah yang minim, distribusi dan jenis tenaga medis pun belum merata. Hal ini menjadi sorotan serius DPRD Kaltim.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kaltim, sebanyak 48 dari 188 Puskesmas belum memiliki tenaga medis yang mencukupi. Kekurangan itu meliputi dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli gizi, tenaga farmasi, hingga analis laboratorium.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, dr. Andi Satya Adi Saputra, mendorong Pemprov segera mengambil langkah konkret. Menurutnya, temuan tersebut menunjukkan kebutuhan mendesak terhadap ribuan tenaga kesehatan.
“Kaltim kekurangan sekitar 4.000 dokter. Saat ini baru ada sekitar 2.000. Artinya, untuk mencapai rasio ideal satu dokter melayani seribu pasien, kita masih tertinggal jauh,” kata Andi Satya.
Politikus Partai Golkar itu menyarankan Pemprov menjalin kerja sama dengan universitas besar di luar daerah untuk mendistribusikan tenaga medis ke wilayah pelosok.
“Kerja sama ini bisa menjadi solusi jangka pendek, sambil menutup kekurangan dokter di daerah terpencil,” ujarnya.
Untuk jangka panjang, ia mendorong adanya program beasiswa khusus bagi putra-putri daerah agar menempuh pendidikan di bidang kesehatan. Nantinya, lulusan ini diharapkan bisa kembali dan mengabdi di wilayah masing-masing, terutama di kawasan 3T—Tertinggal, Terdepan, dan Terluar.
“Kalau mereka dibiayai pendidikannya, dengan komitmen kembali mengabdi, ini bisa membantu mengisi kekosongan medis di daerah-daerah yang paling membutuhkan,” ucapnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi digital dalam pelayanan kesehatan. Menurutnya, program internet gratis dari Pemprov bisa menjadi pendorong optimalisasi layanan telemedicine, seperti yang tengah digalakkan Kementerian Kesehatan.
“Digitalisasi harus dimanfaatkan, termasuk layanan konsultasi dokter secara daring. Ini sejalan dengan program prioritas gubernur,” katanya.
Meski optimistis, Andi Satya mengakui bahwa tantangan di lapangan masih besar. Wilayah seperti Mahakam Ulu dan Kutai Barat, misalnya, masih menghadapi persoalan akses yang membuat pelayanan kesehatan sulit dijangkau.
“Di kota-kota besar mungkin pelayanan tidak terlalu terganggu. Tapi kalau melihat kondisi di kabupaten seperti Mahulu, rasanya memang miris,” kata Andi Satya. (csv)