BAIT.ID – Komisi III DPRD Kaltim kembali menggelar kunjungan lapangan ke lokasi longsor di Jalan Nasional Kilometer 28, Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara (Kukar). Langkah ini merupakan tindak lanjut dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 2 Juni 2025, menyusul belum tuntasnya sejumlah agenda penanganan pasca-bencana.
Kawasan longsor yang menghubungkan Balikpapan dan Samarinda ini masih menunjukkan kerentanan tinggi. Selain memantau perkembangan penanganan fisik jalan, rombongan legislatif juga meninjau area sekitar konsesi tambang PT BSSR serta membahas progres rencana relokasi warga terdampak.
Wakil Ketua Komisi III, Akhmed Reza Fachlevi, menegaskan bahwa penanganan pasca-bencana harus bersandar pada prinsip transparansi dan berbasis kajian ilmiah. “Kami ingin seluruh proses berjalan adil dan menyeluruh. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha sangat krusial dalam pemulihan ini,” ujar politikus Gerindra ini.
Hasil koordinasi di lapangan mencatat beberapa poin krusial. Pertama, Pemerintah Kabupaten Kukar bersama pemerintah desa telah menyiapkan lahan relokasi bagi warga terdampak. Pengukuran telah dilakukan oleh Dinas Perkim, dan kini memasuki tahap penganggaran.
Kedua, menyikapi dugaan keterlibatan aktivitas pertambangan dalam memicu longsor — sebelumnya disuarakan oleh Aliansi Pemuda Tani Jaya Bersatu — Komisi III dan Dinas ESDM menyerahkan proses investigasi kepada Inspektur Tambang. Kajian teknis akan dilakukan untuk menilai dampak secara objektif dan ilmiah.
Dari sisi infrastruktur, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) akan melakukan penanganan darurat agar arus kendaraan bisa kembali lewat. Sementara untuk perbaikan permanen masih menunggu alokasi dana dari pemerintah pusat.
Reza juga mengingatkan, kondisi geografis di KM 28 terbilang rawan. Kontur tanah yang miring serta karakteristik tanah yang labil membuat kawasan ini rentan terjadi longsor susulan. “Maka hal ini harus ditangani secara menyeluruh,” tandasnya.
Longsor di KM 28 Desa Batuah bukan sekadar bencana alam biasa. Selain memutus jalur Samarinda-Balikpapan, juga terdampak ke warga sekitar. Indikasi bahwa aktivitas tambang bisa memperparah kondisi geoteknik wilayah ini dan perlu perhatian serius.
Minimnya pengawasan lintas sektor selama bertahun-tahun menjadi titik lemah penataan ruang di kawasan penyangga ibu kota provinsi ini. Jika investigasi teknis membuktikan adanya kontribusi eksternal dari aktivitas industri, maka kebijakan penataan ulang wilayah konsesi bisa menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. (csv)