Mahasiswa Psikologi Untag Samarinda Kupas Tuntas Gangguan Mental di Era Gen Z

Sabtu, 5 Juli 2025
Pemateri seminar Psikoedukasi Fakultas Psikologi Untag Samarinda berfoto bersama peserta.

BAIT.ID – Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda membedah beragam persoalan kesehatan mental lewat Seminar Psikoedukasi yang digelar Rabu, 2 Juli 2025 lalu. Lewat forum ini, para peserta diajak memahami perilaku pick me, Narcissistic Personality Disorder (NPD), dan Borderline Personality Disorder (BPD) dari sudut pandang psikologi.

Ketua Panitia, Tri Utami Handayani, bersama Humas Kegiatan, Roessalina Arfansyah, menjelaskan seminar ini menjadi ruang diskusi sekaligus ajang berbagi pengetahuan. “Kami ingin membuka wawasan, biar semua lebih peka pada isu kesehatan mental. Apalagi banyak orang belum paham apa yang harus dilakukan kalau menghadapi masalah ini,” kata Tri Utami.

Acara yang digelar di Auditorium HM Ardans Untag Samarinda ini diikuti sekitar 250 peserta, mulai dari mahasiswa psikologi, pelajar SMA, hingga masyarakat umum. Seminar ini juga menjadi tugas akhir mahasiswa Psikologi Untag angkatan 2023 untuk Mata Kuliah Psikologi Abnormal.

Baca juga  DPRD Kaltim Dorong Kolaborasi Polda dan Gakkum Tuntaskan Kasus Tambang di Lahan KHDTK Unmul

Pj Rektor Untag Samarinda, Dr. Evi Kurniasari Purwaningrum, berharap melalui seminar ini mahasiswa bisa berperan aktif mengedukasi publik. “Tema ini sangat relevan, terutama di kalangan remaja. Supaya tidak keliru memahami istilah-istilah psikologi,” tuturnya.

Dekan Fakultas Psikologi, Diana Imawati, menambahkan isu gangguan mental kini semakin sering berseliweran di media sosial, tapi masih banyak yang sekadar ikut-ikutan tanpa benar-benar memahami. “Lewat kegiatan ini, kami ingin peserta paham lebih dalam dan tahu cara menghadapi atau membantu,” kata Diana.

Baca juga  Syahrul Trisna Resmi Perkuat Borneo FC, Barisan Kiper Makin Tangguh

Dalam materinya, Dosen Psikologi Untag, Annisya Muthmainnah, menjelaskan perilaku pick me sebenarnya adalah ekspresi luka psikologis. Orang dengan perilaku ini cenderung berusaha keras agar disukai orang lain, bahkan rela merendahkan orang lain. Hal ini sering berkaitan dengan pola pikir atau pengalaman masa kecil yang membentuk NPD atau BPD. “Kalau tidak ditangani, bisa semakin mengganggu kehidupan sehari-hari. Perlu komitmen untuk berubah,” ujar Annisya.

Psikolog Jovita Nabila Prinanda, pembicara tamu dari Surabaya, menambahkan perilaku pick me sering kali hanya tampak di permukaan, padahal akarnya lebih dalam. “Seperti gunung es, sedikit yang kelihatan. Biasanya muncul karena dorongan ingin terus dipuji dan ketidakstabilan emosi,” jelas Jovita.

Keduanya menekankan pentingnya penanganan melalui terapi. Beberapa metode yang bisa diterapkan adalah Dialectical Behaviour Therapy (DBT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Dengan DBT, klien diajarkan menerima pengalaman dan emosi, meningkatkan kesadaran diri, serta mengatur emosi dengan lebih sehat. Sedangkan CBT membantu mengubah pikiran negatif menjadi lebih rasional, sekaligus memodifikasi perilaku agar lebih adaptif.

Baca juga  Pemprov Kaltim Turun Tangan Atasi Polemik Tarif Ojek Online

Dalam sesi diskusi, salah satu peserta, Aura Quranique Salsabila Ramadhani dari Universitas Brawijaya, mempertanyakan apakah pelabelan pick me justru bisa memperparah trauma. Annisya menjawab, stigma memang bisa menambah beban psikologis, sehingga harus digunakan dengan bijak. “Selain itu, persepsi bahwa gangguan ini hanya melekat pada perempuan sebenarnya juga dipengaruhi oleh bias sosial,” pungkasnya. (csv)

Bagikan