Sewindu Aksi Kamisan Kaltim: Delapan Tahun Suara Kemanusiaan di Bumi Etam

Kamis, 7 Agustus 2025
Aksi Kamisan Kaltim yang sudah berjalan 8 tahun terus konsisten menyuarakan Hak Asasi Manusia harus tegak di Bumi Etam

BAIT.ID – Delapan tahun bukan waktu yang singkat. Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan derasnya arus informasi, Aksi Kamisan Kaltim tetap berdiri tegak menyuarakan nurani. Pada Kamis sore, 7 Agustus 2025, di Teras Samarinda, tepat di depan Kantor Gubernur Kaltim, gerakan ini menandai sewindu perjalanannya dengan tema mendalam: “Kemanusiaan di Atas Segala.”

Tema tersebut menegaskan bahwa kasih sayang, empati, dan solidaritas adalah fondasi yang tak boleh luntur dalam hubungan antara negara dan rakyatnya. Nilai-nilai itu menjadi benang merah dalam setiap orasi dan ekspresi diam yang tersaji dalam aksi.

Momen istimewa ini juga dihadiri langsung oleh Sumarsih, sosok sentral dalam sejarah Aksi Kamisan di Indonesia. Ia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa yang gugur dalam tragedi Semanggi 1998. Sumarsih telah menjadi ikon perlawanan sunyi atas pelanggaran HAM melalui Aksi Kamisan sejak 2007 di Jakarta.

Baca juga  Amunisi Lokal Borneo FC Siap Bersaing Rebut Starting

Kehadirannya di Samarinda membawa semangat aksi makin membara. “Saya melihat Aksi Kamisan Kaltim tetap konsisten selama delapan tahun. Ini bukti bahwa perjuangan menuntut keadilan tidak mengenal waktu maupun batas wilayah,” ucapnya.

Menurut Sumarsih, gerakan ini memberi ruang bagi anak muda untuk mengasah kepedulian dan berpikir kritis. Ia pun merasa perjuangannya di Jakarta tak sia-sia. “Ternyata apa yang kami suarakan bisa tumbuh dan menginspirasi generasi muda di daerah, termasuk di Kaltim,” tambahnya.

Baca juga  Diskusi BEM Fisip Unmul Soroti Ketidakjelasan Informasi Gratispol

Aksi Kamisan yang dikenal dengan ekspresi diam dan berpakaian serba hitam itu bukan sekadar bentuk protes. Lebih dari itu, ia menyuarakan luka kolektif yang belum sembuh. Bukan dengan teriakan, tetapi dengan air mata, keteguhan, dan harapan.

Turut hadir pula Suciwati, istri dari mendiang aktivis HAM Munir Said Thalib. Dalam orasinya, Suciwati menyoroti situasi HAM di Indonesia yang menurutnya kian memprihatinkan. Ia mengkritik tajam tindakan kekuasaan yang semakin represif terhadap rakyat.

“Rakyat semakin dikuras, ruang hidup direbut, dan siapa pun yang berani bersuara akan dibungkam. Ini adalah wajah kekuasaan yang kian brutal,” ujarnya tegas.

Baca juga  Pemprov Kaltim Siap Tindaklanjuti Aspirasi Hasil Reses DPRD

Meski demikian, Suciwati tak kehilangan harapan. Ia justru melihat secercah cahaya dari semangat anak muda yang terlibat dalam Aksi Kamisan. “Perlawanan kini hadir dalam bentuk berbeda, mulai lagu, seni, karya. Namun esensinya tetap sama: menolak ketidakadilan,” katanya, mengingatkan kembali semangat perjuangan era 1990-an.

Sewindu Aksi Kamisan Kaltim menjadi bukti bahwa perlawanan tidak harus gaduh. Ia bisa tumbuh dalam kesenyapan, tetapi tetap menggema, menjadi suara yang tak kunjung padam di tengah gemuruh kekuasaan. Dan selama masih ada ketimpangan, gerakan ini akan terus berdiri, menjadi saksi dan penyambung suara-suara yang dilupakan. (csv)

Bagikan